Pada ayat yang pertama sampai ketiga, Allâh Ta'ala mengulang-ulang kata al-Qâri’ah (القَارِعَةُ). Diawali dengan kalimat pernyataan atau berita, kemudian dilanjutkan dengan dua kali kalimat pertanyaan. Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama, hal ini merupakan pengagungan Allâh Ta'ala terhadap betapa besar dan dahsyatnya hari Kiamat.[2]
Banyak penjelasan para ulama terhadap penafsiran makna al-Qâri’ah (القَارِعَةُ), yang seluruhnya kembali kepada satu makna, yaitu as-Sa’ah (hari Kiamat).[3]
Secara lebih luas, Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim rahimahullâh mengatakan:
"Telah dijelaskan oleh Syaikh[4] -semoga Allah merahmati kami dan beliau-pada awal surat al-Wâqi’ah[5] (الوَاقِعَةُ), bahwa (al-Wâqi’ah) bermakna seperti ath-Thâmmah[6] (الطَّامَّةُ), ash-Shâkh-khah[7] (الصَّاخَّةُ), al-Âzifah[8] (الآزِفَةُ), dan al-Qâri’ah[9] (القَارِعَةُ)… dan telah diketahui (dalam bahasa Arab) bahwa sesuatu apabila besar (dahsyat) keadaannya, ia memiliki banyak nama.
Atau sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Ali radhiyallâhu'anhu (ia berkata), banyaknya nama (pada sesuatu) menunjukkan agungnya perkara tersebut. Juga telah diketahui, bahwa nama-nama tersebut bukanlah sinonim, karena sesungguhnya setiap nama memiliki makna tersendiri. Hari Kiamat dinamakan al-Wâqi’ah (الوَاقِعَةُ), karena hari itu pasti kejadiannya. Juga dinamakan al-Hâqqah[10] (الحَاقَّةُ) karena hari itu nyata dan benar adanya. Juga dinamakan ath-Thâmmah (الطَّامَّةُ), karena bencana, malapetaka dan kehancuran pada hari itu sangat umum dan menyeluruh. Juga dinamakan al-Âzifah (الآزِفَةُ), karena kejadian hari itu sudah dekat, (hal ini) seperti iqtarabatis sa’ah[11] (اِقْتَرَبَتِ السَّعَةُ). Demikian pula surat ini (al-Qâri’ah, Pen).
Lafazh al-Qâri’ah (القَارِعَةُ), berasal dari al-Qar’u (القَرْعُ) yang bermakna adh-Dharb (الضَّرْبُ), yakni pukulan. (Sehingga, penamaan hari Kiamat dengan nama ini) sesuai dengan penjelasan pada ayat berikutnya yang menerangkan, bahwa hari itu melemahkan seluruh kekuatan manusia, hingga manusia bagaikan kupu-kupu yang bertebaran, juga melumpuhkan kekuatan gunung-gunung, hingga gunung-gunung itu bagaikan bulu yang berhamburan.[12]
Dari penjelasan di atas, menjadi jelaslah bahwa makna al-Qâri’ah (القَارِعَةُ) adalah hari Kiamat, yang pada saat itu terjadi kehancuran, bencana, dan malapetaka yang amat besar. Makna ini, seperti ditunjukkan firman Allâh Ta'ala :
… dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana
disebabkan perbuatan mereka sendiri…
(Qs. ar-Ra’d/13:31)
disebabkan perbuatan mereka sendiri…
(Qs. ar-Ra’d/13:31)
Pada ayat keempat surat al-Qâri’ah ini, Allâh Ta'ala berfirman:
Pada hari itu manusia adalah seperti kupu-kupu yang bertebaran
Terdapat tiga pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan makna al-Farasy (الفَرَاشُ) pada ayat ini.
Pertama, maknanya ialah belalang-belalang kecil yang beterbangan dan saling bercampur-baur antara satu dengan lainnya.[13] Makna ini ditunjukkan oleh firman Allâh Ta'ala :
…seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.
(QS al-Qamar/54:7)
(QS al-Qamar/54:7)
Kedua, maknanya ialah sejenis burung kecil atau serangga kecil, bukan nyamuk dan bukan pula lalat.[14]
Ketiga, maknanya ialah sesuatu yang berjatuhan dan bertebaran di sekitar api,[15] baik berupa nyamuk ataupun serangga-serangga kecil lainnya.[16]
Terdapat sebuah hadits shahih yang menunjukkan makna yang ketiga ini. Yaitu hadits Jabir bin Abdillah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Perumpamaan diriku dengan kalian bagaikan seseorang yang menyalakan api,
lalu mulailah laron-laron dan kupu-kupu berjatuhan pada api itu,
sedangkan ia selalu mengusirnya (serangga-serangga tersebut) dari api tersebut.
Dan aku (selalu berusaha) memegang (menarik) ujung-ujung pakaian kalian
agar kalian tidak terjerumus ke dalam neraka,
namun kalian (selalu) terlepas dari tanganku”.[17]
“Perumpamaan diriku dengan kalian bagaikan seseorang yang menyalakan api,
lalu mulailah laron-laron dan kupu-kupu berjatuhan pada api itu,
sedangkan ia selalu mengusirnya (serangga-serangga tersebut) dari api tersebut.
Dan aku (selalu berusaha) memegang (menarik) ujung-ujung pakaian kalian
agar kalian tidak terjerumus ke dalam neraka,
namun kalian (selalu) terlepas dari tanganku”.[17]
Pada ayat kelima, Allâh Ta'ala berfirman:
Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan
Sebagian besar ulama menafsirkan lafazh al-‘Ihn (العِحْنُ) dengan makna ash-Shuf (الصُّوؤُ). Yaitu bulu atau kapas.[18]
Berdasarkan penjelasan ayat keempat dan kelima di atas, dapat kita pahami, salah satu kejadian yang dahsyat pada hari Kiamat adalah berubahnya keadaan manusia, sehingga ia bagaikan kupu-kupu atau belalang yang beterbangan, bertebaran dengan bercampur-baur dan tidak tentu arahnya. Demikian pula dengan gunung-gunung yang sebelumnya berdiri tegak dan kokoh, maka pada hari itu, gunung-gunung bagaikan bulu berhamburan. Seluruh makhluk Allâh Ta'ala yang kuat dan kokoh, pada saat itu kehilangan seluruh kekuatannya, karena demikian dahsyatnya hari Kiamat.[19]
Bentuk lain dahsyatnya hari Kiamat, disebutkan pula dalam firman Allâh Ta'ala :
(Qs. al-Hajj/22 : 1-2)
1. Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu!
Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu
adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).
2. (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu,
lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya
dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil,
dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk,
padahal sebenarnya mereka tidak mabuk,
akan tetapi adzab Allâh itu sangat keras.
Hari Kiamat itu, juga merendahkan satu golongan dan meninggikan yang lainnya. Firman Allâh Ta'ala :
(Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain).
(QS al Waqi’ah/56:3)
(QS al Waqi’ah/56:3)
Pada hari itu, membuat seluruh manusia teringat segala yang pernah dilakukannya selama hidupnya di dunia. Allâh Ta'ala berfirman :
Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.
(QS an-Nazi’at/79:35)
(QS an-Nazi’at/79:35)
Pada hari itu, seluruh manusia sibuk dengan urusannya, sampai-sampai ada yang lupa terhadap sanak familinya. Di antara manusia ada yang senang dan berseri-seri dengan sebab amal shalih yang mereka lakukan saat di dunia, yang akhirnya mengantarkannya ke surga. Tetapi sebagian lagi berwajah muram dan bersedih, disebabkan oleh amal-amal buruk yang telah mereka lakukan. Manusia pun mengetahui tempat mereka tinggal nantinya.[20]
Ditunjukkan dalam firman Allâh Ta'ala dalam surat ‘Abasa/80 ayat 34-42:
34. Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,
35. dari ibu dan bapaknya,
36. dari isteri dan anak-anaknya.
37. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.
38. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
39. tertawa dan bergembira ria.
40. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu,
41. dan ditutup lagi oleh kegelapan.
42. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.
35. dari ibu dan bapaknya,
36. dari isteri dan anak-anaknya.
37. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.
38. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
39. tertawa dan bergembira ria.
40. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu,
41. dan ditutup lagi oleh kegelapan.
42. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.
Demikianlah keadaan manusia pada hari Kiamat.
Adapun keadaan gunung-gunung secara khusus pada hari itu, sebagaimana dijelaskan para ulama,[21] mula-mulanya gunung-gunung digerakkan dan dipindahkan dari tempatnya, kemudian benar-benar diluluh-lantakkan bagaikan bulu-bulu yang dihambur-hamburkan, sebagaimana diterangkan pada ayat kelima surat al-Qari'ah ini, hingga akhirnya gunung-gunung itu menjadi debu yang bertebaran dan bahkan menjadi fatamorgana.
Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan,
dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang beterbangan.
(QS al Muzzammil/73:14)
dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang beterbangan.
(QS al Muzzammil/73:14)
Dan dijalankanlah gunung-gunung,
maka menjadi fatamorganalah ia.
(QS an Naba‘/78:20)
Maka, sudah seharusnya kita senantiasa bertakwa dan takut kepada Allâh Ta'ala, Yang Maha Perkasa dan Berkuasa atas segala sesuatu.
Pada ayat keenam, Allâh Ta'ala berfirman:
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya
Ayat ini menunjukkan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkaitan dengan rukun iman kelima. Bahwa salah satu perwujudan beriman kepada hari akhir adalah meyakini adanya mizan (timbangan) pada hari Kiamat kelak. Barangsiapa yang berat amalan kebaikannya, maka akan mendapatkan kehidupan yang baik, dan demikian sebaliknya.[22]
Di antara dalil lainnya dari al Qur‘an yang menunjukkan adanya mizan (timbangan) pada hari Akhir, yaitu firman Allâh Ta'ala , yang artinya:
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat,
maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun,
dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya,
dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.
(QS al-Anbiya‘/21:47)
maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun,
dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya,
dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.
(QS al-Anbiya‘/21:47)
Begitu pula banyak hadits shahih yang menunjukkan adanya mizan (timbangan) pada Hari Akhir, sebagaimana hadits-hadits berikut ini.
Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“(Ada) dua perkataan yang ringan, (namun) berat dalam mizan (timbangan)
dan dicintai oleh ar-Rahman (Allâh Ta'ala ),
(yaitu) Subhanallahi wa bihamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya),
Subhanallahil ‘Azhim (Maha Suci Allah Yang Maha Agung)”.[23]
“(Ada) dua perkataan yang ringan, (namun) berat dalam mizan (timbangan)
dan dicintai oleh ar-Rahman (Allâh Ta'ala ),
(yaitu) Subhanallahi wa bihamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya),
Subhanallahil ‘Azhim (Maha Suci Allah Yang Maha Agung)”.[23]
Hadits Abu ad-Darda’ radhiyallâhu'anhu, dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:
Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam mizan (timbangan) dari akhlak yang baik.[24]
Pada ayat ketujuh, Allâh Ta'ala berfirman:
Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan
Para ulama menjelaskan, yang dimaksud dengan kehidupan yang memuaskan adalah kehidupan di surga.[25]
Banyak ayat yang menerangkan kehidupan yang penuh kenikmatan bagi para penghuni surga, di antaranya firman Allâh Ta'ala dalam surat al-Insan/76 ayat 10-22, yang artinya:
10. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Rabb kami pada suatu hari
yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
11. Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu,
dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.
12. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka
(berupa) surga dan (pakaian) sutera.
13. Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan,
mereka tidak merasakan di dalamnya (terik) matahari
dan tidak pula dingin yang bersangatan.
14. Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka
dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.
15. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak
dan piala-piala yang bening laksana kaca,
16. (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak
yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya.
17. Di dalam surga itu, mereka diberi minum segelas (minuman)
yang campurannya adalah jahe,
18. (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.
19. Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda,
apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka mutiara yang bertaburan
20. Dan apabila kamu melihat di sana (surga),
niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.
21. Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal
dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak,
dan Rabb memberikan kepada mereka minuman yang bersih.
22. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).
yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
11. Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu,
dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.
12. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka
(berupa) surga dan (pakaian) sutera.
13. Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan,
mereka tidak merasakan di dalamnya (terik) matahari
dan tidak pula dingin yang bersangatan.
14. Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka
dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.
15. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak
dan piala-piala yang bening laksana kaca,
16. (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak
yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya.
17. Di dalam surga itu, mereka diberi minum segelas (minuman)
yang campurannya adalah jahe,
18. (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.
19. Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda,
apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka mutiara yang bertaburan
20. Dan apabila kamu melihat di sana (surga),
niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.
21. Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal
dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak,
dan Rabb memberikan kepada mereka minuman yang bersih.
22. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).
Dan masih banyak ayat lain yang menerangkan beragam kenikmatan yang diperoleh para penghuni surga. Mudah-mudahan Allâh Ta'ala menjadikan kita termasuk para penghuni surga-Nya. Amin.
Kemudian, pada ayat kedelapan sampai ayat terakhir, Allâh Ta'ala berfirman:
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
9. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
11. (Yaitu) api yang sangat panas.
9. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
11. (Yaitu) api yang sangat panas.
Terdapat tiga penafsiran di kalangan para ulama terhadap makna ayat kesembilan.
Pertama, maknanya adalah, ia jatuh dan masuk ke dalam neraka dengan ujung kepalanya lebih dahulu.[26]
Kedua, ayat tersebut merupakan ungkapan dalam bahasa Arab, dilontarkan bagi orang yang terjatuh ke dalam permasalahan yang berat dan menyulitkan.[27]
Ketiga, maknanya, tempat tinggal dan kembalinya adalah neraka.[28] Sehingga, menurut penafsiran yang ketiga ini, hawiyah (هَاوِيَة) merupakan salah satu dari nama-nama neraka.[29]
Kedua, ayat tersebut merupakan ungkapan dalam bahasa Arab, dilontarkan bagi orang yang terjatuh ke dalam permasalahan yang berat dan menyulitkan.[27]
Ketiga, maknanya, tempat tinggal dan kembalinya adalah neraka.[28] Sehingga, menurut penafsiran yang ketiga ini, hawiyah (هَاوِيَة) merupakan salah satu dari nama-nama neraka.[29]
Adapun sebab penamaan neraka ini dengan ummuhu (أُمُّهُ), yakni ibunya, karena neraka tersebut sebagai satu-satunya tempat kembalinya. Seolah-olah neraka tersebut adalah ibunya yang merupakan tempat kembalinya seorang anak.[30]
Tiga penafsiran para ulama di atas tidaklah saling bertentangan, bahkan saling mendukung dan menjelaskan makna lainnya.[31]
Terdapat sebuah hadits mauquf[32] yang menunjukkan tentang tiga penafsiran di atas, yaitu hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallâhu'anhu, beliau berkata :
Apabila seorang hamba telah mati,
ahlurrahmah (hamba-hamba Allah yang penuh kasih sayang)
menemuinya seperti orang-orang di dunia menemui pembawa berita gembira.
Mereka menghampirinya untuk menanyainya.
Lalu sebagian mereka berkata,
“Tunggulah saudara kalian ini, biarkan ia beristirahat, karena ia masih lelah”.
Lalu mereka pun menghampirinya dan bertanya kepadanya,
“Apa yang dilakukan si Fulan? Apa yang dilakukan si Fulanah? Apakah ia sudah menikah?”.
Lalu tiba-tiba mereka bertanya tentang seseorang yang telah mati sebelumnya,
ia menjawab, “Ia telah binasa”.
Mereka berkata, “Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un
(sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami kembali kepada-Nya),
ia telah kembali kepada ibunya (neraka),
sungguh itu seburuk-buruk ibu dan seburuk-buruk pendidik”.
Lalu ditunjukkanlah seluruh perbuatan mereka.
Jika mereka melihat amal mereka baik,
mereka gembira dan senang, lantas berkata,
“Inilah kenikmatan-Mu atas hamba-Mu, maka sempurnakanlah”.
Dan jika mereka melihat amal mereka buruk, mereka berkata,
“Ya Allah, lihatlah (periksalah) kembali hamba-Mu”.[33]
ahlurrahmah (hamba-hamba Allah yang penuh kasih sayang)
menemuinya seperti orang-orang di dunia menemui pembawa berita gembira.
Mereka menghampirinya untuk menanyainya.
Lalu sebagian mereka berkata,
“Tunggulah saudara kalian ini, biarkan ia beristirahat, karena ia masih lelah”.
Lalu mereka pun menghampirinya dan bertanya kepadanya,
“Apa yang dilakukan si Fulan? Apa yang dilakukan si Fulanah? Apakah ia sudah menikah?”.
Lalu tiba-tiba mereka bertanya tentang seseorang yang telah mati sebelumnya,
ia menjawab, “Ia telah binasa”.
Mereka berkata, “Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un
(sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami kembali kepada-Nya),
ia telah kembali kepada ibunya (neraka),
sungguh itu seburuk-buruk ibu dan seburuk-buruk pendidik”.
Lalu ditunjukkanlah seluruh perbuatan mereka.
Jika mereka melihat amal mereka baik,
mereka gembira dan senang, lantas berkata,
“Inilah kenikmatan-Mu atas hamba-Mu, maka sempurnakanlah”.
Dan jika mereka melihat amal mereka buruk, mereka berkata,
“Ya Allah, lihatlah (periksalah) kembali hamba-Mu”.[33]
Ayat terakhir (kesebelas) surat yang agung ini, diterangkan oleh para ulama, juga merupakan penafsiran dari lafazh hawiyah ( ) pada ayat sebelumnya.[34]
Ada beberapa hadits shahih yang maknanya berkaitan erat dengan ayat terakhir ini, di antaranya sebagai berikut :
Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Sesungguhnya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Api kalian ini, yang dinyalakan manusia
hanyalah sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya neraka Jahannam”.
Mereka berkata: “Demi Allah, api ini sudah cukup (panas), wahai Rasûlullâh!”.
Beliau bersabda,”Sesungguhnya api neraka Jahannam lebih (panas) sebanyak enam puluh sembilan kali (dari api di dunia).
Tiap-tiap bagiannya sama panasnya”.[35]
“Api kalian ini, yang dinyalakan manusia
hanyalah sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya neraka Jahannam”.
Mereka berkata: “Demi Allah, api ini sudah cukup (panas), wahai Rasûlullâh!”.
Beliau bersabda,”Sesungguhnya api neraka Jahannam lebih (panas) sebanyak enam puluh sembilan kali (dari api di dunia).
Tiap-tiap bagiannya sama panasnya”.[35]
Hadits an-Nu’man bin Basyir radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Aku mendengar Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya adzab penghuni neraka yang paling ringan pada hari Kiamat adalah,
seseorang diletakkan dua buah bara di tengah-tengah kedua telapak kakinya,
(lalu) mendidihlah otaknya disebabkan dua bara itu.”[36]
“Sesungguhnya adzab penghuni neraka yang paling ringan pada hari Kiamat adalah,
seseorang diletakkan dua buah bara di tengah-tengah kedua telapak kakinya,
(lalu) mendidihlah otaknya disebabkan dua bara itu.”[36]
Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Apabila panas menyengat, maka undurkan shalat sampai waktu sejuk,
karena sesungguhnya panas yang menyengat berasal dari hawa Jahannam”.[37]
“Apabila panas menyengat, maka undurkan shalat sampai waktu sejuk,
karena sesungguhnya panas yang menyengat berasal dari hawa Jahannam”.[37]
Mudah-mudahan Allâh Ta'ala senantiasa melindungi dan menjauhkan kita dari segala hal yang dapat mengantarkan kepada panasnya api neraka Jahannam.
Demikianlah tafsir surat al-Qâri’ah, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat menambah iman, ilmu dan amal shalih kita. Wallahu A’lam bish- Shawab.
[1] | Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/340), al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/152), Zadul Masir (9/213), Tafsir Ibnu Katsir (8/468), |
[2] | Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/340), al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/152-153), Zadul Masir (8/345-346), Tafsir Ibnu Katsir (8/468). |
[3] | Di antaranya adalah al Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya (30/340), beliau membawakan beberapa riwayat dengan sanad-sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, Qatadah, dan Waki’. Mereka semua mengatakan bahwa makna al-Qâri’ah ( ) adalah as-Sa’ah ( ), yakni hari Kiamat. |
[4] | Maksudnya adalah Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullâh (1320-1393 H). |
[5] | Surat al Waqi’ah/56 ayat 1. |
[6] | Surat an Nazi’at /79 ayat 34. |
[7] | Surat ‘Abasa/80 ayat 33. |
[8] | Surat an Najm/53 ayat 57. |
[9] | Surat al-Qâri’ah/101 ayat 1-3. |
[10] | Surat al Haqqah/69 ayat 1-3. |
[11] | Surat al-Qamar/54 ayat 1. Yang artinya, telah dekat saat itu (yakni, hari Kiamat). |
[12] | Adhwa’ul-Bayan (9/70). |
[13] | Lihat al-Jami’ li Ahkamil-Qur‘an (20/152), Tafsir Ibnu Katsir (8/468). |
[14] | Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/71). |
[15] | Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/341). Al-Imam ath-Thabari berkata dengan pendapat ini. |
[16] | Lihat Zadul Masir (9/214). |
[17] | HR Muslim (4/1790 no. 2285), dan lain-lain. Hadits ini dibawakan pula oleh al-Imam al-Qurthubi rahimahullâh di dalam tafsirnya (20/153). Lihat pula Adhwa’ul-Bayan (9/71-72). |
[18] | Lihat Tafsir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/341), al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/153), Zadul Masir (9/214), Tafsir Ibnu Katsir (8/468), Adhwa’ul-Bayan (9/71). |
[19] | Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/71). |
[20] | Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/325-327), surat ‘Abasa/80 ayat 34-42. |
[21] | Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/341), Zadul-Masir (9/214), Tafsir Ibnu Katsir (8/468), Adhwa’ul-Bayan (9/71), Taisir al-Karimir-Rahman (2/1192). |
[22] | Lihat contohnya dalam Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, halaman (240), dan Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah (2/636-640) untuk pembahasan lebih luas dalam masalah ini. |
[23] | HR al Bukhari (5/2352, 6/2459, 2749), Muslim (4/2072 no. 2694), dan lain-lain. |
[24] | HR Abu Dawud (4/253 no. 4799), at-Tirmidzi (4/362-363 no. 2002, 2003) dan lain-lain. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al- Albani. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah (2/535 no. 876). |
[25] | Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/342), Tafsir Ibnu Katsir (8/468) dan Taisir al-Karimir-Rahman (2/1192). |
[26] | Demikian pendapat Abu Shalih, Qatadah, dan Ikrimah. Lihat pula Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an (30/342), al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/154), Tafsir Ibnu Katsir (8/468). |
[27] | Ini juga pendapat Qatadah. Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil- Qur`an (30/342). |
[28] | Ini pendapat Ibnu Zaid, al Farra’, Ibnu Qutaibah, dan az-Zajjaj. Pendapat ini didukung oleh al Imam Ibnul Jauzit di dalam tafsirnya, Zadul-Masir (9/215). |
[29] | Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/468) dan Adhwa’ul-Bayan (9/74). |
[30] | Lihat Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil- Qur`an (30/342) dan al-Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/154). |
[31] | Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/74). |
[32] | Yaitu hadits yang hanya sampai pada sahabat, tidak sampai pada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. |
[33] | Syaikh al-Albani rahimahullâh di dalam as-Silsilah ash-Shahihah (6/604-607 no. 2758) berkata, “(Hadits ini) dikeluarkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (149/443)..., ath-Thabrani dalam al- Mu’jamul-Kabir (4/153-154/3887-3888)..., al-Hakim (2/533)...”. |
[34] | Lihat Adhwa’ul-Bayan (9/74). |
[35] | HR al-Bukhari (3/1191), Muslim (4/2184 no. 2843), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim. |
[36] | HR al Bukhari (5/2400), Muslim (1/196 no. 213), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim. |
[37] | HR al Bukhari (1/198, 199), Muslim (1/430 no. 615), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim. |